Makin Erat Gandeng Kemitraan Negara Superior, Analis Justeru Skeptis
JAKARTA - Kemitraan Indonesia - Amerika Serikat yang terjalin sejak 2015, disebut makin erat lagi setelah Menteri Luar (Menlu) Retno Marsudi melakukan pertemuan dengan Antony Blinken di Washington, bulan Agustus 2021. Dengan melibatkan lebih dari 4.500 personel dari kedua negara.
Bahka Retno mengklaim dengan pertemuan tersebut, Indonesia telah memasuki "era baru hubungan bilateral" dengan Amerika Serikat.
Di samping itu, AS juga telah menyumbangkan 8 juta dosis vaksin dan memberikan lebih dari US$65 juta dalam bentuk bantuan terkait Covid-19.
Sementara, SCMP, pada Minggu (5/9/2021), melaporkan indikasi munculnya hubungan yang lebih erat antara AS - Indonesia setelah keduanya meluncurkan “dialog strategis”. Dialog ini disebut menghidupkan kembali kemitraan yang disepakati pada semenjak tahun 2015.
Namun China tidak tinggal diam, mereka juga meningkatkan hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Manuver Tiongkok tersebut, memantik sorotan dari berbagai pihak.
Peningkatan kerjasama ini, menjadikan hubungan perdagangan antara Indonesia - China telah berkembang dan memiliki ikatan pribadi bagi elit politik mereka.
Terkait hubungan Indonesia - AS, analis Yohanes Sulaiman malah skeptis akan hubungan baru yang diklaim semakin mempererat antar dua negara.
Dosen Fakultas Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani Bandung, berpendapat bahwa kemitraan strategis baru tersebut seyogiaianya terdapat bukti nyata sebelum deklarasi tersebut dibuat.
“Secara umum, hubungan AS dan Indonesia cukup stabil, (meskipun) mengalami pasang surut,” katanya
Sebelum RI memutuskan langkah selanjutnya, Yohanes pun mengimbau perlu kiranya menentukan kepentingan langkah langkah strategisnya jika tatanan regional nantinya berubah.
“Sampai hari ini saya belum pernah mendengar kepentingan strategis Indonesia yang jelas," katanya.
“Indonesia tahu apa yang tidak diinginkannya tetapi tidak tahu apa yang diinginkannya.”
Tahun lalu, volume perdagangan antara AS - RI mencapai lebih dari US$27 miliar, kendati angka ini dikerdilkan oleh US$71,4 miliar dengan China, yang sekarang menjadi mitra dagang terbesar dan investor asing terbesar kedua.
Namun, hubungan Indonesia - China tidak semuanya mulus, karena Indonesia adalah non-penggugat dalam laut Cina Selatan, walau sebenarnya bagian dari zona ekonomi eksklusif Laut Natuna Utara berada dalam wilayah yang sedang disengketakan.
Indonesia juga semakin ketar-ketir terkait pembengkakan anggaran pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung, yang telah mencari kesepakatan dengan Beijing untuk membiayainya.
Sehingg sejumlah analis, seperti Evan Laksmana, peneliti senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Indonesia, mempertanyakan apakah Jakarta siap menghadapi perubahan tatanan.
Karenanya, Yohanes juga meningatkan agar Jakarta jangan terlalu bergantung pada AS, sebab menurut dia Washington dapat menjatuhkan sanksi ke Indonesia yang dianggap melanggar HAM karena kasus Timor Timur. Dalam hal ini, ia menyontohkan penangguhan hubungan militer AS dengan Jakarta oleh mantan presiden Bill Clinton pada tahun 1999.
Selain itu, terang dia Washington juga mengancam untuk menghentikan bantuan ekonomi kecuali kekerasan di Timor Timur dihentikan.
“Indonesia juga berhati-hati untuk bersekutu dengan China, yang menyimpan ambisi teritorial di Laut China Selatan, sehingga Indonesia memilih untuk netral,” katanya. Saat ini Timor Timur menjadi negara berdaulat sejak tahun 2002 dan menjadi Timor Leste. (grid/roy)