Pengacara Warga: Damai Boleh, Ribut Boleh
Pagulipat Konflik Lahan Medokan Semampir Timur DAM II Surabaya
SURABAYA | ARTIK.ID - Konflik lahan berkepanjangan di kawasan Medokan Semampir Timur, Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya, kian menguatkan dugaan adanya keterlibatan mafia tanah.
Spekulasi ini mencuat seiring dengan munculnya Wakidjo pada Kamis (27/1/2022) lalu. Pria renta berusia sekitar 81 tahun ini mengaku sebagai ahli waris almarhum Kromoredjo, seorang saudagar kaya raya yang dipandang terhormat dan cukup disegani oleh masyarakat setempat pada masanya.
Laporan: Agus A Wicaksono
Sengkarut kepemilikan tanah seluas 20 hektar di Medokan Semampir Timur atau yang juga dikenal kawasan DAM II Surabaya, masih terus berlanjut.
Achmad Shodiq selaku kuasa hukum Wakidjo menuntut dikembalikannya hak atas tanah yang sampai saat ini disengketakan oleh banyak pihak.
“Kedatangan kami kemari bersama warga untuk melakukan penguasaan tanah kurang lebih seluas 20 hektar ini secara fisik,” cetus Shodiq, Kamis (27/1/2022), lalu.
Lawyer Palenggahan Hukum Nusantara and Partner itu mengungkapkan keprihatinannya. Ini karena sejak konflik dimulai sampai sekarang, masih belum ada titik temu kesepakatan.
Dia pun berharap, dari pemasangan sejumlah papan nama atau patok yang ditancapkan atas hak milik ahli waris Kromoredjo bisa memperjelas siapa sebenarnya pemilik tanah yang sah.
Termasuk, untuk menegaskan kepada pihak-pihak terkait. Baik itu oknum-oknum yang belakangan muncul mengaku sebagai pemilik tanah maupun pihak pemerintah yang menyatakan bahwa sebagian lahan adalah milik negara.
“Dari waktu ke waktu, setelah kami amati dan cermati, ada beberapa oknum yang melakukan perubahan-perubahan terhadap petok-petok tanah yang ada di kelurahan,” ungkapnya.
Di hadapan sejumlah wartawan, Shodiq lantas menceritakan histori singkat bagaimana Kromoredjo memperoleh tanah, cara PT SAC Nusantara menguasai tanah, sampai muncul pihak-pihak yang meng-klaim sebagai pemilik.
Kata dia, awal mula lahan seluas 20 hektar itu diperoleh dari hasil transaksi jual-beli dua bidang tanah pada tahun 1959. Yang pertama, almarhum Kromoredjo membeli lahan berupa tanah garapan kurang lebih seluas 7 hektar. Dan yang kedua, tanah Letter C Nomor 241 seluas 13 hektar.
“Itu semua ada dokumen penetapannya. Termasuk bukti kewajiban pembayaran pajak atau retribusi ke pemda. Semua masih lengkap kami yang pegang,” tegas Shodiq.
Tragedi kemudian terjadi pasca Kromoredjo wafat. Kala itu, Wakidjo yang ditunjuk sebagai ahli waris tak henti-hentinya mendapat teror dan intimidasi dari berbagai oknum. Mereka diduga “disewa” khusus dari pusat oleh PT SAC Nusantara.
“Pak Wakidjo lalu diusir. Rumah dan seluruh bangunan yang ditempatinya diratakan dengan tanah. Sampai pada akhirnya beliau lari mencari perlindungan selama puluhan tahun ke sanak familinya yang ada di Sidoarjo,” terang pengacara bertubuh dempal ini.
Beredar Tiga Sertifikat Diduga Abal-abal
Warga Medokan Semampir Timur mengaku sempat geram. Kegeraman mereka memuncak ketika tiba-tiba mendapati sejumlah papan penanda hak milik ditancapkan di atas tanah sengketa. Papan-papan itu berdiri tegak dengan menerangkan hak milik tanah atas nama Indra Sidharta, Budi Susanto, dan Lily.
Menurut Shodiq, klaim itu jelas janggal. Apalagi jika dicantumkan bukti sertifikat kepemilikan tanah. Sebab dari dulu sampai sekarang, ahli waris Kromoredjo tidak pernah memperjualbelikan lahan miliknya kepada siapapun. Termasuk pada PT SAC Nusantara sekalipun.
“Setelah kami mempersoalkannya, nama yang tertera di papan itu tiba-tiba telah dihapus. Ini kan aneh. Kalau itu memang suatu kebenaran hukum, proses jual-belinya benar, kenapa harus dihapus? Kenapa mesti ditutup?,”gumam Shodiq.
Shodiq menilai, reaksi yang ditunjukkan oleh pihak-pihak lain itu justru semakin memperjelas adanya drama kebohongan. Terlebih, kata Sodiq, mereka tidak pernah hadir ketika diundang warga untuk membuktikan keabsahan bukti sertifikat yang digenggamnya.
“Bahkan kami bersama warga sudah sampai tiga kali menyampaikan permohonan pada Badan Pertanahan Negara (BPN) II Jawa Timur agar dikakukan mediasi dan klarifikasi, tetapi mereka tetap tak mau datang,” imbuh pengacara jebolan Akademi Wartawan Surabaya (AWS) yang berkantor di Sidoarjo ini.
Shodiq menegaskan, putusan kasasi Nomor 1347 K/Pdt/2011 yang diterbitkan pada 29 September 2011 lalu oleh Mahkahmah Agung (MA) seharusnya bisa menjadi pijakan hukum. Gugatan yang dilayangkan PT SAC Nusantara atas kepemilikan sebagian lahan sengketa seluas 10 hektar ditolak.
Ungkap Fakta Kejanggalan
Tak hanya meragukan bukti sertifikat kepemilikan tanah oleh pihak lain. Saat ditemui wartawan di kantornya, Achmad Shodiq juga membeber sederet fakta yang dianggapnya janggal dan berpotensi pada perbuatan melawan hukum. Utamanya menyangkut asal muasal bukti hak atas nama Budi Susanto maupun Indra Sidharta.
Sebagai contoh, soal sengketa hak sisa dari batas sempadan Sungai Brantas yang diklaim milik Budi Susanto. Menurut Shodiq, munculnya peta bidang dan dikeluarkannya sertifikat atas nama Budi Susanto seluas 6.496 meter persegi oleh pihak BPN sarat dengan konspirasi.
“Puluhan warga jadi korban bahkan ada yang dijebloskan ke penjara. Budi Susanto yang saat itu memberi hak kuasa kepada PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) Indra Sidharta untuk menjaga obyek tanah, mengintimidasi warga agar mau meninggalkan lahan sisa sempadan yang ditempati dengan imbalan masing-masing Rp35.000.000,” beber Shodiq, Kamis (3/2/2022).
Bagi warga setempat, nama Budi Susanto dan Indra Sidharta bukanlah sosok yang asing. Selain karena sering terkait dalam riwayat perkara sengketa tanah, keduanya juga dikenal pialang ihwal berbisnis tanah.
Sebut saja dalam proses ruilslag atau tukar guling sebagian lahan yang diperuntukan proyek perluasan Makam Blok Keputih. Di situ, tanah seluas 2,2 hektar dari tanah seluas 6,1 hektar yang dibebaskan oleh Pemkot Surabaya tiba-tiba beralih kepemilikannya atas nama seseorang. Belakangan, orang yang dimaksud itu adalah Indra Sidharta.
“Tanah yang dibeli pemkot dari uang yang bersumber APBD (Anggaran Pendapatan Rumah Tangga) itu terindikasi rekayasa, melibatkan oknum instansi pemerintah bersama mafia tanah. Perkara sudah diadukan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) oleh teman-teman LSM sejak awal Januari 2021 lalu,” terang pengacara penggagas sekaligus Ketua Persaudaraan Advokat Jawa Timur ini.
Tak hanya itu. Nama Indra Sidharta juga pernah disebut-sebut melakukan penyerobotan tanah petok bersama pengembang PT Ladang Rizky Jaya Sentosa dengan memalsukan dokumen sertifikat. Tanah yang luasnya 9.400 meter persegi tiba-tiba ‘disulap’ menjadi 17.395 meter persegi. Dia dituding telah bersekongkol dengan oknum dari pihak Kelurahan Keputih, Surabaya.
“Dia (Indra Sidharta) memang orang yang ‘luar biasa’. Profesinya seorang notaris tapi juga bisa merangkap sebagai pengacara,“ ujar Shodiq.
Dari fakta kejanggalan yang dicatat, Shodiq mengaku semakin yakin jika perkara yang ditanganinya saat ini sarat dengan kepentingan banyak pihak. Aroma keterlibatan mafia tanah bahkan diciumnya cukup menyengat. Ini disimpulkan setelah dirinya menangkap gelagat yang menguatkan tiga modus utama para mafia tanah.
Dipaparkan Shodiq, ketiganya meliputi konspirasi dengan oknum instansi pemerintah untuk menerbitkan surat bukti hak, merekayasa perkara, hingga mempertontonkan adegan pura-pura transaksi jual-beli.
“Oleh karenanya, kami bersama warga berniat mendirikan posko di sana. Entah namanya Posko Dabo Ribo (Damai Boleh Ribut Boleh) atau apa, nanti akan kita musyawarahkan dan sepakati bersama,” pungkas Shodiq.
Penting diketahui, patgulipat konflik pertanahan di kawasan Medokan Semampir Timur ini memang sudah berlangsung sejak lama. Berdasar catatan MA, polemik berawal sekitar tahun 2002.
Obyek lahan seluas 20 hektar yang disengketakan itu kini diproyeksikan oleh Pemkot Surabaya untuk perluasan Makam Blok Keputih.
Pada awal Juni 2017 lalu, Pemkot Surabaya sudah mencairkan anggaran sebesar Rp177,5 miliar. Uang sebanyak itu dipakai untuk membebaskan dua bidang tanah yang masing-masing luasnya 9.000 meter persegi dan 43.569 meter persegi. Uang kompensasi dibayarkan sebagai ganti rugi pada dua orang nama yang disebutkan sebagai pemilik lahan.
Sengketa lahan yang diduga kuat melibatkan campur tangan mafia tanah ini dipastikan masuk dalam daftar 4.358 aduan yang diterima Panitia Kerja (Panja) Pemberantasan Mafia Tanah DPR RI tahun 2021. Selain itu, masuk dalam daftar 8.625 aduan yang dilaporkan ke meja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) 2018-2020.
Lantas, bagaimana kerja Satgas Mafia Tanah bentukan pemerintah? Satgas Mafia Tanah bisa apa? Ikuti perkembangan informasi selanjutnya.
(kc/ara)